Selasa, 21 Oktober 2014

Kisah, Sejarah dan Pelajaran Dari Perang Uhud


Perang Uhud (Bahasa Arab: غزوة أحد‎ Ġazwat ‘Uḥud) berlaku pada hari Sabtu, 7 Syawal atau 11 Syawal tahun ketiga hijrah (26 Mac 625 M) adalah peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy  Mekah yang terjadi pada tahun 3 Hijriah di Gunung Uhud. Gunung kecil yang terdiri dari batu hitam diselimuti oleh tanah kering ini tingginya 1050 meter, terletak di sebelah barat laut Madinah, tepatnya 5 km arah utara dari Masjid Nabawi dan arah selatan dari Gunung Tsur. Peristiwa pertempuran ini terasa begitu dahsyat dan memberikan dampak emosional, 70 Orang Syuhada gugur dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terluka. Berikut kami ulas secara singkat  Kisah pertempuran Uhud dan hikmah dibalik musibah yang menimpa kaum muslimin. Bismillahirrahmanirrahim..
Latar belakang pertempuran
Mendung kesedihan masih saja menyelimuti kota Makkah. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa kaum Musyrikin Quraisy tak mampu menyembunyikan duka lara mendalam perihal kekalahan telak mereka pada perang Badar tahun ke-2 Hijriyah, hati mereka tersayat pilu tak terkira. Berita kalahnya pasukan Quraisy terasa begitu cepat menyebar keseluruh penjuru kota Makkah, bak awan bergerak menutupi celah celah langit yang kosong di musim penghujan. Namun sangat disayangkan, kekalahan telak kaum paganis Quraisy pada perang itu tak mampu merubah sikap bengis mereka terhadap kaum muslimin. Dendam kesumat nan membara tertancap kokoh dalam hati mereka, tewasnya tokoh-tokoh Quraisy berstrata sosial tinggi pada peristiwa nahas itu semakin menambah kental kebencian Quraisy terhadap kaum muslimin.
Persiapan pasukan Quraisy
Tokoh-tokoh Quraisy seperti  Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayah, dan Abu Sufyan bin Harb (sebelum mereka masuk Islam) bangkit sebagai pelopor-pelopor yang sangat getol mengobarkan api balas dendam terhadap Islam dan pemeluknya. Para orator ulung bangsa Arab tersebut menempuh langkah-langkah strategis  untuk memuluskan program balas dendam tersebut, mula-mula mereka melarang warga Makkah meratapi kematian korban tewas perang Badar kemudian menunda pembayaran tebusan kepada kaum muslim untuk membebaskan tawanan Quraisy yang masih tersisa di Madinah. Mereka sibuk menggalang dana untuk menyongsong aksi balas dendam, mereka datang kepada para pemilik kafilah dagang Quraisy yang merupakan pemicu utama terjadinya perang Badar, seraya menyeru :
”Wahai orang-orang Quraisy! Sungguh Muhammad telah menganiaya kalian serta membunuh tokoh-tokoh kalian! Maka bantulah kami dengan harta kalian untuk membalasnya! Mudah-mudahan kami bisa menuntut balas terhadap mereka.”
Rencana tersebut mendapat respon hangat dari masyarakat Quraisy, kontan dalam waktu yang sangat singkat terkumpul dana perang yang cukup banyak berupa 1000 onta dan 50.000 keping mata uang emas. Sebagaimana yang Allah Subhaanallaahu wa Ta’aala lansir pada ayat ketigapuluh enam dari surat Al-Anfal:
Sesungguhnya orang-orang kafir itu mereka menginfakkan harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah…
Hari demi hari tampak upaya mereka mendapat hasil signifikan. Betapa tidak, hanya dalam kurun waktu satu tahun saja mereka mampu menghimpun pasukan tiga kali lipat lebih besar dibanding jumlah pasukan Quraisy pada perang setahun lalu (perang Badar) ditambah fasilitas persenjataan yang memadai terdiri dari 3000 onta, 200 kuda dan 700 baju besi, jumlah total pasukan tidak kurang dari 3000 prajurit ditambah lima belas wanita bertugas mengobarkan semangat tempur dan menghalau pasukan lari mundur kebelakang.
Bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan Quraisy adalah Abu Sufyan bin Harb, adapun pasukan berkuda dibawah komando Khalid bin Al Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal, sementara panji- panji perang dipegang para ahli perang dari Kabilah Bani Abdud Dar, dan barisan wanita dibawah koordinasi Hindun bintu ’Utbah istri Abu Sufyan. Terasa lengkap dan cukup memadai persiapan Quraisy dalam periode putaran perang kali ini, arak-arakan pasukan besar sarat anarkisme dan angkara murka kini tengah merangsek menuju Madinah menyandang misi balas dendam.
Sampainya kabar kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Beliau menerima surat rahasia dari Al Abbas bin Abdul Mutthalib paman beliau yang masih bermukim di Makkah. Kala itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Quba, Ubay bin Ka’ab diminta untuk membaca surat tersebut dan merahasiakan isinya. Beliau bergegas menuju Madinah mengadakan persiapan militer menyongsong kedatangan ’tamu tak diharapkan itu’.
Bak angin berhembus, berita pergerakan pasukan kafir Quraisy menyebar keseluruh penjuru Madinah, tak ayal kondisi kota itu mendadak  tegang , penduduk kota siaga satu, setiap laki-laki tidak lepas dari senjatanya walau dalam kondisi shalat. Sampai-sampai mereka bermalam di depan pintu rumah dalam keadaan merangkul senjata.
Majelis musyawarah militer
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan para sahabatnya sembari  bersabda :
Demi Allah sungguh aku telah melihat pertanda baik, aku melihat seekor sapi yang disembelih, pedangku tumpul, dan aku masukkan tanganku didalam baju besi, aku ta’wilkan sapi dengan gugurnya sekelompok orang dari sahabatku, tumpulnya pedangku dengan gugurnya salah satu anggota keluargaku sementara baju besi dengan Madinah”.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpendapat agar tetap bertahan di dalam kota Madinah dan meladeni tantangan mereka di mulut-mulut lorong kota Madinah. Pendapat ini disetujui oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, Abdullah bin Ubay  memilih pendapat ini bukan atas pertimbangan strategi militer melainkan agar dirinya bisa dengan mudah kabur dari pertempuran tanpa mencolok pandangan manusia.  Adapun mayoritas para sahabat, mereka cenderung memilih menyambut tantangan Quraiys di luar Madinah dengan alasan banyak diantara mereka tidak sempat ambil bagian dalam perang Badar, kali ini mereka tidak ingin ketinggalan untuk ’menanam saham’ pada puncak amalan tertinggi dalam Islam (JIHAD).  Hamzah bin Abdul Mutthalib sangat mendukung pendapat ini seraya berkata :
”Demi Dzat Yang menurunkan Al Qur’an kepadamu, sungguh Aku tidak akan makan sampai Aku mencincang mereka dengan pedangku di luar Madinah.”
Dengan mempertimbangkan berbagai usulan para sahabat akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memutuskan untuk menjawab tantangan Quraisy di medan terbuka luar kota Madinah. Dan meninggalkan selera Abdullah bin Ubay.
Hari itu Jum’at tanggal 6 Syawwal 3 H beliau memberi wasiat kepada para sahabat agar bersemangat penuh kesungguhan dan bahwasannya Allah akan memberi pertolongan atas kesabaran mereka. Lalu mereka shalat Ashar dan Beliau beranjak masuk kedalam rumah bersama Abu Bakar dan Umar bin Al Khathab, saat itu beliau mengenakan baju besi dan mempersiapkan persenjataan.
Para sahabat menyesal dengan sikap mereka yang terkesan memaksa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk keluar dari Madinah, tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam keluar mereka berkata :
”Wahai Rasulullah, kami tidak bermaksud menyelisihi pendapatmu, putuskanlah sekehendakmu! Jika engkau lebih suka bertahan di Madinah maka lakukanlah!”
Beliau menjawab:
”Tidak pantas bagi seorang nabi menanggalkan baju perang yang telah dipakainya sebelum Allah memberi keputusan antara dia dengan musuhnya.”
Kondisi umum pasukan Islam
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam membagi pasukan Islam menjadi tiga batalyon : Batalyon Muhajirin dibawah komando Mush’ab bin Umair, Batalyon Aus dikomando oleh Usaid bin Hudhair dan Batalyon Khazraj dipimpin oleh Khabbab bin Al Mundzir . Jumlah total pasukan Islam hanya 1000 orang, dengan perlengkapan fasilitas serba minim berupa 100 baju besi dan 50 ekor kuda (dikisahkan dalam sebuah riwayat: tanpa adanya kuda sama sekali) dalam perang ini. Wallahu a’lam
Sesampainya pasukan Islam disebuah tempat yang dikenal dengan Asy Syaikhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyeleksi beberapa para sahabat yang masih sangat dini usia mereka diantaranya Abdullah bin Umar bin Al Khathab, Usamah bin Zaid, Zaid bin Tsabit, Abu Said Al Khudry dan beberapa sahabat muda lainnya, tak urung kesedihan pun tampak di wajah mereka dengan terpaksa mereka harus kembali ke Madinah.
Orang-orang munafikin melakukan penggembosan
Berdalih karena pendapatnya ditolak oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan aksi penggembosan dalam tubuh pasukan Islam. Musuh Allah ini berhasil memprovokasi hampir sepertiga jumlah total pasukan, tidak kurang dari 300 orang kabur meninggalkan front jihad fisabilillah. ’Manusia bermuka dua’ ini memang sengaja melakukan aksi penggembosan ditengah perjalanan agar tercipta kerisauan di hati pasukan Islam sekaligus menyedot sebanyak mungkin kekuatan muslimin.
Strategi militer Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan tugas pasukan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sang ahli strategi militer mengatur barisan pasukan dan membagi tugas serta misi mereka. Beliau menempatkan 50 pemanah di bukit Ainan bertugas sebagai sniper-sniper dibawah komando Abdullah bin Jubair bin Nu’man Al Anshary, Beliau memberi intruksi militer seraya bersabda :
Gempurlah mereka dengan panah-panah kalian!Jangan tinggalkan posisi kalian dalam kondisi apapun! Lindungi punggung-punggung kami dengan panah-panah kalian! Jangan bantu kami sekalipun kami terbunuh! Dan jangan bergabung bersama kami sekalipun kami mendapat rampasan perang!. Dalam riwayat Bukhari:jangan tinggalkan posisi kalian sekalipun kalian melihat burung-burung telah menyambar kami sampai datang utusanku kepada kalian!
Sesampainya di Uhud kedua pasukan saling mendekat, panglima kafir Quraisy Abu Sufyan berupaya memecah persatuan pasukan Islam, dia berkata kepada kaum Anshar: ”Biarkan urusan kami dengan anak-anak paman kami (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan kaum Muhajirin)! Maka kami tidak akan mengusik kalian, kami tidak ada kepentingan memerangi kalian!”
Akan tetapi, upaya Abu Sufyan tidak menuai hasil karena kokohnya keimanan kaum Anshar. Justru sebaliknya, mereka membalasnya dengan ucapan yang amat pedas yang membuat panas telinga orang yang mendengarnya.
Awal mula pertempuran
Thalhah bin Abi Thalhah Al Abdary pemangku panji perang kafir Quraisy, seorang yang dikenal sangat mahir dan pemberani maju menantang mubarazah (duel), secepat kilat Zubair Ibnul Awwam menerkam dan membantingnya, Thalhah tak berdaya melepas nafas terakhirnya dengan leher menganga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertakbir dan bertakbirlah kaum muslimin.
Bangkitlah Abu Syaibah Utsman bin Abi Thalhah mengibarkan kembali panji tersebut, dengan penuh kesombongan menantang duel, secepat kilat pula Hamzah bin Abdul Mutthalib menghantam pundaknya dengan sabetan pedang yang sangat kuat hingga menembus pusarnya tak ayal tangan dan pundaknya terlepas, Utsman tersungkur tak berdaya meregang nyawa. Berikutnya Abu Sa’ad bin Abi Thalhah mengambil panji tersebut namun seiring dengan itu anak panah Sa’ad bin Abi Waqash menembus kerongkongannya.
Musafi’ bin Abi Thalhah memberanikan diri mengangkat kembali panji Quraisy namun ia tewas mendadak tersambar runcingnya anak panah Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah. Berikutnya Kilab bin Thalhah bin Abi Thalhah saudara kandung Musafi’ mengibarkan kembali panji itu namun ia segera roboh ketanah mengakhiri hidupnya setelah pedang Zubair bin Al Awwam menyambar badannya. Al Jallas bin Abi Thalhah segera menopang kembali menopang panji itu, namun sabetan pedang Thalhah bin Ubaidillah segera memecat nyawa dari tubuhnya. Keenam pemberani tersebut berasal dari satu keluarga kabilah Bani Abdi Dar.
Kemudian Arthah bin Syurahbil maju namun Ali bin Abi Thalib tak membiarkannya hidup lama menenteng panji dan langsung melibasnya, realita yg sungguh spektakuler, tidaklah seorang pun dari kaum musyrikin mengambil panji tersebut melainkan terenggut nyawanya hingga genap sepuluh orang menemui ajalnya disekitar panji perang musyrikin. Setelah itu tak ada seorang pun dari mereka yang bernyali mengambil panji yang tergeletak di bumi Uhud.
Perang pun Berkobar
Genderang perang semakin nyaring saja bunyinya, kucuran darah, ringkikan kuda, dencing suara pedang  beradu semakin menambah warna kental suasana bumi Uhud saat itu. Perang berkecamuk merata di setiap titik bak kobaran api menjalar membakar rerumputan kering, jagoan-jagoan Islam benar-benar menampakkan kehebatan dan kepiawaian mereka dalam putaran perang kali ini, militansi pasukan Islam merupakan buah dari kekuatan iman yang merasuk dan terpatri kuat dalam hati mereka, seakan-akan iman telah memenuhi setiap pembuluh darah mereka, kecilnya jumlah tak menciutkan nyali para pejuang demi tegaknya agama Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi. Mereka begitu yakin bahwa kematian tidak akan dipercepat dengan perang dan tidak pula diundur dengan meninggalkannya.
Bermodalkan iman dan semangat membaja mereka bertawakal kepada Rabbul Alamin menggadaikan nyawa mereka demi kenikmatan abadi disisi Allah subhanahu wa ta’ala –Al-Jannah (surga). Kala itu Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sebilah pedang seraya bersabda,
”Siapa yang hendak mengambil pedang ini sesuai dengan haknya?” Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu dan sejumlah para shahabat bergegas maju, berizin untuk mengambil pedang itu. Namun, meski demikian, beliau  belum juga menyerahkannya kepada salah seorang pun hingga Abu Dujanah Simak bin Kharasyah radhiyallahu ‘anhu maju, sembari berujar, ”Apa hak pedang itu wahai Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam?” ”Engkau sabetkan pada musuh sampai bengkok,” jawab beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku yang akan mengambil dengan haknya, wahai Rasulullah,” pinta Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu. Barulah setelah itu, beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam memberikannya kepadanya.
Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu menuturkan: “Muncul dalam hatiku kekecewaan tatkala Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam menolak permintaanku, Aku berkata dalam hatiku, ’Aku adalah anak bibi beliau Shafiyah bintu Abdul Muththalib. Aku dari bangsa Quraisy. Aku lebih dahulu meminta pedang itu, namun justru beliau memberikannya kepada Abu Dujanah dan menolakku. Demi Allah, aku akan perhatikan sepak terjang Abu Dujanah!’ Maka aku selalu mengikutinya. Mula-mula ia memakai surban merah. Kaum Anshar berkata, ’Apakah Abu Dujanah keluar dengan surban kematian?’ Ia pun keluar sembari mendendangkan syair-syair.”
Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu melibas setiap musuh yang menghadangnya, tidak ada satu musuh pun yang ia lewati melainkan menjadi seonggok mayat, ia menggempur, menyibak barisan musuh sampai menembus pertahanan Quraisy paling belakang yaitu barisan prajurit wanita Quraisy. Kalau bukan karena kemuliaan pedang Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh seorang wanita, tentunya kepala Hindun bintu Utbah telah lepas dari badannya. Namun Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu menarik pedang yang sudah berada tepat diatas kepala Hindun (sebelum masuk Islam), ia menghindar dan meninggalkan komandan pasukan wanita Quraisy itu sembari berkata, ”Allah subhanahu wa ta’ala dan RasulNya lebih mengetahui.”
Gugurnya Paman Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu sebagai Syahid
Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu seorang yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela Islam, orang yang tidak pernah merasa takut melawan kezhaliman, pemberani dan mahir dalam perang menggempur jantung pertahanan musuh bak singa jantan menerkam mangsa, mengamuk, menumbangkan setiap lawan tanpa hambatan, musuh kocar-kacir bak daun-daun kering diterpa angin. Singa Allah subhanahu wa ta’ala dan Singa RasulNya ini tak membiarkan satu lawan pun kecuali terlibas olehnya, namun tanpa ia sadari tiba-tiba sebuah lembing tajam milik Wahsyi bin Harb (yang pada waktu itu belum masuk Islam) telah lama mengintainya, menusuk dan merobek perutnya. Ia gugur sebagai syahid.
Abu Bakar, Umar bin Al-Khathab, Sa’ad bin Abi Waqash dan seluruh pasukan Islam radhiyallahu ‘anhum mengerahkan segala keberanian menggempur dan memporak-porandakan pertahanan lawan yang semakin rapuh. Pasukan Quraisy kalang-kabut tak mampu memberi perimbangan terhadap serangan pasukan Islam. Barisan musuh semakin kacau-balau. Tak pelak, mereka lari centang-perenang meninggalkan medan laga, dan lalai dengan ambisi buruk yang selama ini mereka impikan. Prajurit wanita Quraisy lari terbirit-birit ke perbukitan sembari menyingsingkan pakaian hingga tersingkap betis-betis mereka.
Begitulah Allah subhanahu wa ta’ala selalu memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya selama mereka menolong agamaNya.
Kesalahan Fatal Pasukan Pemanah
Kaum muslimin unggul diatas angin menguasai medan laga. Tak ada perlawanan yang berarti dari Quraisy, mereka lari terbirit-birit meninggalkan harta benda yang melimpah. Kaum muslimin merasa telah keluar sebagai pemenang. Rasanya tak ada pekerjaan lain, kecuali sibuk mengumpulkan harta rampasan perang yang tercecer. Mulailah kecintaan terhadap dunia menghinggapi hati sebagian besar pasukan pemanah. Mereka khawatir akan tidak mendapat bagian rampasan perang. Mereka meninggalkan bukit strategis itu dan lalai terhadap wasiat Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Komandan pasukan pemanah, Abdullah bin Jubair Al-Ansharyradhiyallahu ‘anhu, mengingatkan mereka seraya berkata,
“Lupakah kalian dengan wasiat Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam?”
Namun apa daya, mereka tak mengindahkan nasehat sang komandan. Empat puluh orang pasukan turun meninggalkan tugas inti mereka.
Kini pertahanan inti kaum muslimin dalam kondisi rawan. Jantung pertahanan pasukan Islam melemah tanpa mereka sadari. Kholid bin Al-Walid, salah satu komandan pasukan berkuda Quraisy, tak membiarkan kesempatan emas itu lewat begitu saja. Panglima perang yang tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran baik ketika masih kafir maupun setelah masuk Islam itu secepat kilat memutar haluan arah pasukan kuda Quraisy. Ia memacu kudanya dengan segala ambisi merebut posisi paling strategis, yaitu bukit para pemanah. Musuh menyergap dan mengepung sisa pasukan pemanah. Para pemanah tak kuasa menghalau serangan mendadak itu. Sepuluh orang pemanah gugur satu persatu fi sabilillah berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala –semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka semua–.
Kuda Kholid bin Walid meringkik dengan suara yang dikenali pasukan Quraisy. Seorang wanita Quraisy, ’Amrah Al-Haritsiyyah, memungut dan mengibarkan kembali panji perang yang tergeletak sejak awal pertempuran. Quraisy bersatu dan bangkit semangat mereka untuk menyerang balik. Mereka mengepung kaum muslimin dari dua arah. Posisi kaum muslimin terjepit dan dengan mudah mereka membantai para mujahidin. Kini musuh mampu menguasai bukit. Kemudian mereka merangsek menyerang sisa pasukan Islam yang lain. Posisi mereka seakan berada diantara gigi-gerigi mesin penggilas. Pertahanan kaum muslimin semakin rapuh. Kondisi berubah seketika.
Barisan pasukan Islam semakin kacau balau. Susah membedakan antara kawan dan lawan. Bahkan ada diantara mereka yang saling menyerang karena gaduh dan gawatnya kondisi. Ayah Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma pun menjadi korban salah sasaran.
Kabar dusta kematian Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu, duta Islam pertama di Madinah, salah satu pemegang panji komando, tewas di tangan Ibnu Qim’ah. Setelah berhasil membunuhnya, ia berteriak, ”Muhammad telah tewas!” karena menyangka bahwa Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu adalah Rasulullahshallalallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Mush’ab adalah seorang shahabat yang bentuk fisik dan perawakannya sangat mirip dengan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Teriakan itu kontan membuat semangat para shahabat radhiyallahu ‘anhum turun drastis. Di sisi lain, serangan Quraisy semakin membabi buta terhadap pasukan Islam hingga terbunuh sejumlah shahabatradhiyallahu ‘anhum.
Jiwa pasukan Islam lemah tak tahu kemana mereka akan melangkah. Sebagian mereka terduduk tak tahu apa yang ditunggu, bahkan sebagian mereka berpikir untuk menghubungi Abdullah bin Ubay bin Salul –salah satu tokoh munafiqin– guna meminta perlindungan keamanan dari Abu Sufyan (yang ketika itu belum masuk Islam).
Kala itu Anas bin An-Nadhri  radhiyallahu ‘anhu melewati mereka seraya berkata,
”Apa yang kalian tunggu?” Mereka berkata, ”Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh,” jawab mereka lemas. ”Apa yang kalian pikirkan terhadap kehidupan sepeninggal beliau?! Bangkit dan matilah kalian diatas matinya Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam!” Lalu ia berkata, ”Ya Allah, aku meminta udzur atas sikap mereka (muslimin), dan aku berlepas diri dari perbuatan mereka (musyrikin).” Lalu ia maju ke arah musuh. ”Hendak kemana engkau, wahai Abu Umar?” tanya Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. “Sungguh aku mencium bau Al-Jannah (surga) di bawah Uhud, wahai Sa’ad!” ujarnya. Lalu ia maju menyerang musuh sampai gugur dengan lebih dari delapan puluh luka di badannya. Tidak ada yang dapat mengenali jenazahnya kecuali saudarinya yang mengenali jari-jemarinya.
Tsabit bin Ad Dihdah radhiyallahu ‘anhu menyeru,
“Wahai orang-orang Anshar, kalaupun Muhammad telah mati, maka Allah tidak akan pernah mati! Beperanglah atas nama agama kalian, niscaya Allah menolong kalian!” Majulah sekelompok orang dari Anshar menyerang pasukan Khalid bin Walid namun semuanya gugur fi sabilillah.
Setelah terbunuhnya Mush’ab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallammemberikan panji perang pada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ia pun menyerang musuh bersama sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum dan telah menghabiskan segala kemampuan.
Jagoan Quraisy menjadikan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai target operasi utama. Beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam hanya didampingi sembilan orang shahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun pasukan muslimin yang lain tercerai-berai. Beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallammenyeru para shahabat dengan teriakan, ”Kemarilah! Aku adalah Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Namun, kaum musyrikin lebih dahulu mendengarnya, secepat kilat mencari sumber suara, dan disitulah mereka mendapatkan manusia mulia yang selama ini mereka berambisi besar untuk membunuhnya. Gugur tujuh orang, yang kesemuanya dari kalangan Anshar, dari sembilan orang shahabat yang melindungi Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun dua orang yang tersisa adalah dari kalangan Muhajirin, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqashradhiyallahu ‘anhuma.
Saat itu, musuh dengan leluasa menyerang  Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Utbah bin Abi Waqqash melukai bibir beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam dengan lemparan batu. Abdullah bin Shihab Az-Zuhry menciderai pipi beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Qim’ah menyabetkan pedangnya pada pundak beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam, yang menyebabkan rasa sakit lebih dari sebulan, namun sabetan tersebut tidak berhasil menembus baju besi beliaushallalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak puas dengan itu, Abdullah menyabetkan kembali pedangnya tepat di pipi beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam.
”Rasakan ini! Aku adalah Ibnu Qim’ah!” teriak Abdullah bin Qim’ah bengis. Topi besi beliaus hallalallahu ‘alaihi wa sallam rusak. Pecahan rantainya menembus pipi  hingga pecah gigi seri beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak ayal darah membasahi wajah suci manusia termulia itu shallalallahu ‘alaihi wa sallam.Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhuma menghabiskan tenaga melindungi Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam hingga putus beberapa jari-jemari Thalhah radhiyallahu ‘anhu.
Akhir Pertempuran
Jumlah korban kaum muslimin dalam periode perang kali ini memang lebih banyak dibanding jumlah korban kaum musyrikin. Oleh karena itu, mayoritas ahli sejarah menyatakan bahwa kaum muslimin mengalami kekalahan dalam pertempuran Uhud.
Hikmah yang Terkandung di dalamnya :
  • Memahamkan kepada kaum muslimin betapa buruknya akibat kemaksiatan dan mengerjakan apa yang telah dilarang Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika barisan pemanah meninggalkan pos-pos mereka yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Sudah menjadi kebiasaan bahwa para Rasul ‘alaihimus salam juga menerima ujian dan cobaan, yang pada akhirnya mendapatkan kemenangan. Di antara hikmahnya, apabila mereka senantiasa mendapatkan kemenangan, tentu orang-orang yang tidak pantas akan masuk ke dalam barisan kaum mukminin sehingga tidak bisa dibedakan mana yang jujur dan benar; dan mana yang dusta. Sebaliknya, kalau mereka terus-menerus kalah, tentulah tidak tercapai tujuan diutusnya mereka. Sehingga sesuai dengan hikmah-Nya terjadilah dua keadaan ini.
  • Ditundanya kemenangan pada sebagian pertempuran, adalah sebagai jalan meruntuhkan kesombongan diri. Maka ketika kaum mukminin diuji, lalu mereka sabar, tersentaklah orang-orang munafiqin dalam keadaan ketakutan.
  • Allah subhanahu wa ta’ala mempersiapkan bagi hamba-Nya yang beriman tempat tinggal di negeri kemuliaan-Nya yang tidak bisa dicapai oleh amalan mereka. Dia tetapkan beberapa sebab sebagai ujian dan cobaan agar mereka sampai ke negeri tersebut.
  • Bahwasanya syahadah (mati syahid) termasuk kedudukan tertinggi bagi para wali Allahsubhanahu wa ta’ala.
  • Perang Uhud ini seakan-akan persiapan menghadapi wafatnya Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala meneguhkan mereka, dan mencela mereka yang berbalik ke belakang, baik karena Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh atau meninggal dunia.
  • Hikmah lain adalah adanya pembersihan terhadap apa yang ada di dalam hati kaum mukminin. (Lihat Fathul Bari, 7/433)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar