Selasa, 21 Oktober 2014

Kringgg!!! “Yeah, saatnya isoma” Teriakku penuh semangat yang memang sejak lima belas menit yang lalu aku menggigit pensil, menghitung detik jam menunggu untuk segera menunjuk pukul 12.15 yang berarti adalah saatnya isoma. Aku bergegas berlari meninggalkan kelas menuju belakang sekolah untuk menemui beberapa teman dekatku yang sudah menunggu untuk merancanakan rencana liburan.
“Itu dia, yang ditunggu-tunggu baru muncul batang hidungnya yang pesek.” Kata Aam dengan sedikit nada menyinggung. “sudah-sudah, jadi besok kita jadi kemana nih? Jangan yang mainstream, kita coba suatu tantangan baru gitu loh” Timpal Hakim dengan semangat. “Cari tantangan boleh sih, tapi jangan terlalu nekat milih tempatnya.” Kataku sedikit menasehati. “Aku ada ide, bagaimana kalo kita besok ke rumah angker Tumapel aja. Kita cari tau apa aja isi rumah besar itu.” Kata Aam tak kalah semangat dari ucapan Hakim tadi. “Yah, boleh juga tuh!” Firman yang dari tadi diam saja menyetujui rencana Dila. Tanpa basa basi lagi kami semua menyetujui rencana Aam yang memang sedikit ekstrim sih.
Rumah Angker Tumapel menurut cerita adalah rumah bekas milik orang kaya Belanda yang meninggal secara tidak wajar di rumahnya sendiri. Banyak pula pengakuan dari warga sekitar menyebutkan banyak sekali penampakan di rumah itu. Ada juga yang mengatakan bahwa rumah itu hidup. Pernah sekali seorang dua remaja seorang lelaki dan perempuan memasuki rumah itu pada malam jumat kliwon, dan tak pernah kembali lagi. Hanya tertinggal sepeda motor di halaman rumah itu. Seakan akan rumah itu memakan dua remaja tersebut. Setelah kejadian itu semakin sedikit orang yang berani memasuki rumah itu, khususnya lagi di malam hari, sudah tidak ada lagi yang berani memasuki rumah itu. Yah, kurang lebih begitulah ceritanya rumah itu.
Malam hari, sebelum aku terlelap, aku masih memikirkan bagaimana jadinya petualangan esok. Apakah kami akan baik-baik saja atau bagaimana, entahlah perasaan gugup ini membuatku tertidur. Esoknya, saat sarapan pagi tiba-tiba, sendok yang aku pakai makan terjatuh dan membuat nasi gorengnya berceceran. Hatiku tiba-tiba bergetar, apakah ini firasat buruk. Tetapi aku langsung mengacuhkan perasaanku tadi.
“Drrrt, Drrrrt.” Ponsel ku bergetar tanda ada sms yang masuk. Aku langsung mengambil ponsel yang berada di saku celana jeansku. “Form: Aam. Persiapkan barang barang yang harus kalian bawa nanti, ingat! Ngumpul di rumahku jam 8 malam. Jangan telat.” Aku masih agak ragu mengenai pemberangkatan nanti main ke rumah angker itu, perasaanku kembali tidak enak. Dan sekali lagi aku mengacuhkannya dan melanjutkan menyantap nasi goreng buatan mamaku.
Siangnya, aku menyiapkan barang yang sekiranya diperlukan nanti. Senter kuno milik alm kakekku kubawa di tas berharap itu bisa menjadi jimatku jika terjadi apa-apa nanti. Sekali lagi hatiku bergetar, perasaanku tidak enak, aku bertanya pada diriku sendiri, apakah ini pertanda jika memang aku tidak diperkenankan untuk mengunjungi rumah itu. Ketakutan pada diriku membuatku tertidur lelap.
“Ham ilham! Ham!” terdengar teriakan remaja memanggil namaku, suara itu masih sangat sulit kufokuskan untuk kucerna, karena memang aku masih dalam keadaan mengumpulkan nyawa untuk bangun. “Awwww!” aku berteriak sekencang kencangnya karena aku merasakan seperti ada gamparan yang langsung mengumpulkan nyawa yang berkeliaran. “Buruan, sekarang udah jam setengah tujuh malam nih, ayo buruan siap-siap.” Ternyata Aam, Hakim, dan Firman menjemputku ke rumah. Tanpa menjawab pertanyaan mereka, aku langsung berjalan menuju kamar mandi.
Dari kamar mandi, terdengar suara teman-temanku membuat gaduh isi rumah. Mereka memang suka sekali membuat rumah orang jadi berantakan setiap mereka berkunjung, dan kali ini adalah bagian rumahku, hmmm. Seakan aku benar benar sudah melupakan kegelisahanku sejak kemarin, semua berjalan tenang-tenang saja.
Seusai mandi, berpakaian, dan semuanya telah siap untuk kubawa, aku mencari mama untuk berpamitan. “Ma, ma?” aku memanggil manggil. “Ham Ilham, Buruan!” dari tadi Firman meneriakkiku dari luar, memang mereka kupinta untuk menunggu di luar agar tidak lebih parah lagi menghancurkan isi rumah. Aku baru sadar, dari tadi aku tidak mendengar suara mama. Segera kubuka ponselku dan ternyata ada satu pesan masuk. Mama ternyata sedang pergi ke rumah tante bersama adikku.
Positive malam ini kutinggalkan rumahku sendiri, setelah mengunci semua pintu, aku bergegas menuju teman-temanku untuk berangkat ke Tumapel. “Mari kita berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan sampai kembali lagi ke rumah kita.” Ajak Aam mendamaikan suasana teman-temanku yang menggerutu karena sudah lama menunggu di luar rumah.
“Bremm, Bremm” suara motor masih terdengar meninggalkan rumah. Aku yang dibonceng Hakim, sedari tadi diam tanpa kata sepanjang perjalanan. Mulai terasa lagi perasaanku yang tidak nyaman. Aku tidak bisa berbuat apa-apa seribu do’a kupanjatkan agar diberi keselamatan dalam petualangan malam ini.
Empat puluh menit perjalanan akhirnya kami sampai di Rumah Tumapel. Yah, ternyata horror juga rumah ini. Rumah cukup besar bertingkat dua yang sangat tampak dari luar tidak berpenghuni, karena tidak terawat. Dan ditutupi oleh pagar-pagar dari seng. Sepeda kami segera kami masukkan ke halaman rumah itu dan kami memarkir sepeda kami di sana.
Kesunyian malam itu sangat menakutkan sekali, dan ternyata ini adalah malam jum’at kliwon. Nyali kami sempat menciut, “Bagaimana kalau kita pergi dari sini dan pulang saja” Firman yang dari tadi ceria terlihat sangat ketakutan. “Jangan begitu dong, kita sudah sampai di sini. Apapun yang terjadi kita harus maju, apakah nggak malu kamu nyerah duluan. Lebih terhormat kita mati di dalam.” Kata Aam yang kecewa mendengar lontaran kata yang keluar dari mulut firman barusan. “Kalau kamu pulang, silakan.” Kataku sok tegar menyembunyikan kekhawatiran di hatiku ini.
Kami berempat berjalan ke dalam rumah, hentakan kaki kami terdengar jelas karena malam ini begitu sunyi. Setelah sampai di depan pintu tiba tiba langkah kami terhenti. “Apapun yang akan terjadi, kita harus maju.” Hakim mencoba membangun semangat kami. Aam membuka pintu dan masuk duluan, dilanjutkan Firman, Hakim, dan aku terakhir saat memasuki rumah aku melihat sosok perempuan putih di bawah pohon samping rumah. Perasaanku menjadi lebih takut. Di ruang tamu, terlihat jelas bahwa rumah ini dulunya adalah milik seorang yang suka seni, terdapat banyak sekali lukisan di dalamnya.
Keganjilan masih belum kami rasakan di rumah ini. Semua masih berjalan seperti biasa. Kami beranikan untuk masuk lebih dalam lagi menuju ruangan seperti kamar tidur seperti kamar tidur. “inget, jangan main-main disini.” Kataku sedikit ketakutan. Kesunyian tiba tiba terpecah “Duar!!” suara pintu depan seperti ada yang membanting. Kami berempat mulai merasa ketakutan. Bulu bulu halus di tubuh kami berdiri dengan tegang. Kami segera lari ke ruangan seperti aula. Di pintu aula terlihat seseorang seperti zombie datang ke arah kami. Wajahnya begitu mengerikan matanya terlihat mengeluarkan darah. Dia hanya mempunyai separuh tengkorak. Dan yang lebih mengerikan, ternyata dia membawa temannya sekitar sepuluh zombie ingin membunuh kami.
Ini adalah hal yang tak pernah terlintas ke fikiranku. Aku sangat merasa takut “Ayo menuju lantai atas” teriak Firman memecah ketakjuban kami melihat zombie secara langsung ini. Sambil berlari firman berkata, “Sudah kubilang apa? Ini beresiko besar. Mungkin kita akan mati terbunuh zombie sialan.” “Jangan saling menyalahkan. Sekarang kita harus berfikir untuk segera keluar dari tempat ini.” Kata Aam panik. Kami berempat sudah berada di lantai atas. Dari sini terdengar hentakan kaki zombie zombie itu. Hakim mengeluarkan sebuah benda seperti kembang api. “Aku membawa kembang api besar ini. Mungkin jika kita tembakkan Kembang api ini ke arah zombie zombie itu mungkin mereka terbakar.” Kata Hakim. “Persiapkan amunisi kembang apinya, aku akan mencoba menarik perhatian para zombie itu agar berkumpul.” Kataku. Aku merasa harus berkorban demi keselamatan kami. Kubuang rasa takut terhadap mereka.
Para zombie menakutkan itu terlihat berjalan menaiki tangga sedangkan teman temanku merangkai amunisi. Mungkin langkahku tidak seperti di film-film hollywood yang bersembunyi dan mati satu persatu untuk melawan zombie. Di dunia nyata ini aku tidak bisa berfikir sejernih itu. Kepanikan menghantam otak kami. Setelah berhasil membuat mereka berkumpul jadi satu aku memberi aba-aba dan terjadi tembakan kembang api ke arah zombie zombie itu.
Mereka terbakar, satu persatu dari mereka jatuh ke lantai dasar. Kami bahagia saat melihat mereka tak bergerak. “Ini baru namanya petualangan.” Teriak Hakim berbahagia. Kami berniat untuk pulang dan menceritakan pengalaman kami terhadap media sosial agar kami terkenal. Sungguh, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan yang telah usai. aku mencoba mendekati salah satu zombie yang mati. Saat kudekati, tiba tiba dia terbangun dan cakarnya yang tajam menembus kepalaku. “AHHH!!! Tiba tiba aku mendapati diriku terbangun berada di atas ranjang spring bedku. “ternyata ini hanya mimpi” gumamku. Ku melihat jam ternyata masih menunjuk pukul 4 sore. Aku merasa lega sekali ternyata itu hanyalah mimpi. Mungkin itu adalah mimpi terburuk sepanjang hidupku.
Yah, kita memang boleh melakukan tantangan, tetapi jangan sampai keterlaluan. Karena yang hidup di dunia ini bukan hanya kita. Setelah ku cek hapeku, ternyata mereka juga mengurungkan niatnya untuk mencobanya. Entah apa mereka juga dilanda mimpi yang sama denganku? Entahlah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar